Hari Ayah...??

Terimakasih Ayah


Asap putih mengepul di atas sepiring nasi. Tak jauh dari sana terletak sepiring tahu dan tempe goreng, sebotol kecap manis serta segelas air putih. Aisyah, gadis kecil berkerudung putih duduk menghadap meja makan seraya berdoa, semoga Alloh melimpahkan keberkahan pada makanan di hadapannya tersebut. Sebenarnya Aisyah memiliki dua saudara lagi, namun acara makan paginya sering ia lewati sendirian. Ibunya sedang sibuk memandikan adik laki-lakinya yang masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak. Kakaknya ikut saudara ke luar kota untuk menimba ilmu di sana. Dan Ayah sudah mengayuh becaknya sejak pagi buta.

Ada satu kebiasaan Ayah yang selama ini diam-diam di perhatikan oleh Aisyah. Ayah selalu makan setelah anak-anaknya selesai makan. Tak jarang Ayah berpuasa karena persediaan bahan makanan yang menipis. Namun tak sekalipun Ayah mengeluhkan masalah itu. Apalagi untuk biaya sekolah anak-anaknya, meski sulit Ayah terus berusaha memenuhinya. Walaupun terkadang harus pinjam ke sana kemari.

“ilmu adalah bekal hidup di dunia serta media untuk memperoleh bekal di akhirat nanti, dan hanya ini warisan terbaik yang bisa Ayah berikan” tutur Ayah ketika Kakaknya berniat tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Sebenarnya waktu itu Kakak Aisyah ingin bekerja saja untuk membantu mengurangi beban orang tuanya yang kian menggunung. Dengan keteguhan hati dan keyakinan Ayah untuk selalu menyandarkan masalah pada Dzat Yang Maha Kuasa, kini Kakak Aisyah benar-benar bisa bekerja dan terus melanjutkan sekolah. Kakak Aisyah bekerja separoh waktu di sebuah toko foto copy. Dengan gaji 150.000 rupiah tiap bulan, Kakak Aisyah bisa memenuhi kebutuhan sekolahnya dan mengirimkan sebagian lagi untuk orangtuanya. Untuk makan dan tempat tinggal, Alhamdulillah ada saudara mereka yang membantu.

Masa ujian sekolah adalah masa yang istimewa bagi Aisyah dan saudara-saudaranya. Sehari sebelum ujian mereka diwajibkan untuk mandi keramas, memotong kuku dan membersihkan badan dari daki serta kutu rambut. Terkadang siang hari Ayah meluangkan waktu untuk mencari kutu di rambut anak-anaknya sekaligus memastikan bahwa mereka benar-benar telah bersih. Telinga adalah bagian pertama yang di cek terlebih dahulu, bila ada sedikit saja kotoran maka Ayah akan menyuruh mereka membersihkan ulang.

“telinga adalah indera pendengaran. Sebagian besar informasi masuk melalui indera ini. Jangan sampai salah mendengar instruksi hanya karena telinga yang bermasalah” jelas Ayah dengan tegas.

Dulu ketika Kakaknya masih berada di rumah, Aisyah suka berebut untuk dicari terlebih dahulu kutunya. Meski kadang sebenarnya tak terdapat kutu di kepala mereka, tapi inilah kesempatan dimana mereka bisa benar-benar merasakan kasih sayang Ayahnya.

“bila badan kalian bersih, maka kalian akan bisa berfikir dengan tenang”kata Ayah seraya menyibak rambut Aisyah helai demi helai, ketika ia bertanya mengenai ritual itu.

Menjelang sore Ayah mulai mengecek perlengkapan sekolah mereka. Mulai dari pensil, penghapus dan yang paling tak boleh ketinggalan adalah nomer ujian. Ayah memastikan semuanya telah siap. Pensil harus sudah teraut dan lebih dari satu, cadangan kalau-kalau patah ketika di kelas. Penghapus dalam kondisi bersih, bila ada sisa pensil yang menempel, tinggal gosok pada dinding bercat putih maka penghapus akan kembali bersih. Ibu pun ikut sibuk menyiapkan seragam dan sepatu, tak ketinggalan kaos kaki juga harus telah siap di tempatnya. Pagi harinya mereka mendapat menu istimewa yang tak didapat di hari yang lain. Yaitu segelas susu sapi murni yang telah direbus dan di campur dengan kuning telur ayam kampung serta madu. Segelas susu itu dibagi bertiga, meski adiknya belum mengikuti ujian tapi ia pun mendapat bagian. Aisyah merasa seperti hendak perang saja. Dalam hati ia sangat bersyukur memiliki orangtua seperti mereka. Ia berjanji dalam hati untuk selalu memberikan yang terbaik untuk mereka. Tak henti-hentinya ia berdoa untuk kebahagian dan keselamatan mereka.

Suatu hari Aisyah mendapati Ayah tengah duduk di tepi ranjang sedang membaca surat dari Kakaknya. Tanpa sepengetahuan Ayah Aisyah mendapati sebutir air merembet dari sudut mata Ayah. Merembet pelan turun menyusuri hidung dan sudut bibir Ayah yang tersenyum samar. Mata Ayah berkaca-kaca memancarkan sinar kebahagiaan sekaligus kerinduan. Esoknya baru Aisyah tahu isi surat tersebut, yang pada intinya berbunyi

“…berkat doa Ayah dan Ibu Nanda dapat menyelesaikan ujian akhir dengan lancar. Alhamdulillah kini nanda telah lulus dengan nilai terbaik. Nanda berharap Ayah dan Ibu dapat hadir dalam penyerahan ijazah Nanda, Insya Alloh tiga minggu lagi. Janganlah Ayah dan Ibu risau akan keadaan dan pendidikan Ayah dan Ibu yang tidak setingkat.

Ayah, selama jauh dari rumah, Nanda tetap melakukan apa yang selama ini ayah ajarkan ketika hendak mempersiapkan ujian. Saat-saat yang paling Nanda rindukan adalah saat Ayah meletakkan kepala nanda di pangkuan Ayah dan dengan teliti mencari kutu serta telurnya di sela-sela rambut Nanda. Seraya memberi nasehat tentang kehidupan.

Ayah,
Nanda menjadi tegar karena belajar dari ketegaran Ayah.
Nanda menjadi sabar karena belajar dari Ayah yang tak pernah mengeluh.
Nanda menjadi beriman karena belajar dari Ayah yang taat beribadah.
Nanda hidup dengan rahmat Alloh karena Ayah yang menghidupi Nanda dengan rezeki yang halal.
Terima kasih Ayah, terima kasih untuk semua keringat, usaha dan doa Ayah selama ini. Terima kasih juga untuk Ibu atas kasih sayang dan restunya.

Besar harapan Nanda atas kehadiran Ayah dan Ibu..”
Tak terasa airmata Aisyah berlinang membasahi kulit pipinya yang putih. Terbayang saat-saat yang pernah mereka lalui bersama, secercah kerinduan mencuat ke permukaan hatinya. Ia rindu ketika bergandengan tangan menyusuri jalan ke sekolah, ia rindu ketika harus berbagi dengan Kakaknya. Teringat ketika Ayah selalu menyempatkan untuk mengantar dan menjemput mereka mengaji. Ayah sengaja mendaftarkan mereka di sebuah TPQ yang letaknya cukup jauh dari rumah karena kualitas pengajaran disana yang bagus dan mereka tidak di pungut biaya. Selain mengaji mereka diajari bahasa asing, arab dan inggris. Begitulah Ayah, selalu berusaha memberi yang terbaik pada anak-anaknya.

Pernah suatu hari Ayah tetap mengantarkan mereka mengaji meski cuaca sedang buruk. Derasnya hujan dan gemuruh petir terdengar memekakkan telinga tak menyurutkan niatnya untuk mengayuh becak mengantar mereka mengaji. Bahkan saat itu Ayah sengaja menunggui mereka, agar sewaktu-waktu mereka pulang lebih awal Ayah dapat segera mengantarkan pulang.

Aisyah menelan ludah pelan. Andai bisa ia mengurai kebaikan Ayah padanya selama ini, tak akan cukup kertas berlembar-lembar. Andai ia mampu mengganti biaya hidup yang diberikan Ayah sejak ia dalam kandungan Ibunya, tak akan cukup uang bermilyar-milyar untuk mengganti setiap pengorbanan Ayahnya. Mungkin saat ini hanya dengan doa ia bisa berbakti pada orangtuanya.Di tengadahkan kedua tangannya, di panjatkannya hatinya ke hadapan Illahi. Kemudian dalam hati ia mulai berdoa

“Ya Alloh, ampunilah aku, Ibu dan Ayahku, dan kasihilah keduanya sebagaimana mereka mengasihi aku sejak kecil. Amin”

Dari kejauhan Aisyah dengan penuh kasih diam-diam menatap Ayah yang tengah membersihkan becak. Mata Aisyah berbinar, senyumnya mengembang dan di sela-sela gerimis di hatinya meluncur kalimat yang tak putus-putus dilontarkan. Seakan-akan kalimat itu mampu menembus ruang dan waktu menyusup ke hati Ayahnya. Sebuah kalimat sederhana yang selama ini belum kuasa di ucapkannya. Sebuah kalimat yang mewakili semua perasaannya. Sebuah kalimat yang berbunyi,

“Terima kasih Ayah…”.

--------------------


Previous
Next Post »
Thanks for your comment
baju wanita

CARI KISAHMU DISINI...